Sikap semena-mena bangsa Eropa terhadap rakyat Indonesia memicu perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah.
Perlawanan Rakyat Jawa (Perang Diponegoro)
|
Ilustrasi saat Pangeran Diponegoro ditangkap |
Perlawanan rakyat Jawa terhadap penjajah Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa, adalah salah satu perlawanan besar yang terjadi antara tahun 1825-1830.
Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwono III, memulai perlawanan setelah Belanda memasang patok-patok jalan di atas makam leluhur beliau. Keadaan di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan karena intervensi Belanda yang sering kali memperburuk perselisihan di lingkungan kerajaan dan mengakibatkan penderitaan rakyat.
Perlawanan dimulai pada 20 Juli 1825 ketika pasukan Belanda datang ke Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, menggunakan Goa Selarong sebagai markas dan tempat persembunyiannya. Perang ini menggunakan taktik perang gerilya yaitu perang dengan berpindah tempat.
Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Di tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan kepada pihak Diponegoro dengan memakai sistem benteng stelsel (pertahanan) sehingga pasukan Diponegoro semakin terjepit. Pada tahun 1829, pemimpin spiritual pemberontakan, Kyai Modjo, ditangkap. Menyusul setelahnya Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya, Alibasah Sentot Prawirodirjo, menyerah kepada pihak Belanda.
Adapun Pangeran Diponegoro dijebak oleh Belanda. Belanda pura-pura mengajak Pangeran Diponegoro untuk melakukan perundingan damai. Namun Belanda berkhianat dab Pangeran Diponegoro ditangkap saat pertemuan berlangsung. Maka, Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap dan diasingkan ke tanah Manado, kemudian dipindahkan ke wilayah Makassar hingga hari wafatnya tiba di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.
Perlawanan Rakyat Sumatra Barat
|
Tuanku Imam Bonjol |
Perlawanan rakyat Sumatra Barat terhadap penjajah, yang dikenal sebagai Perang Padri, dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dari tahun 1821 hingga 1837. Perang ini berawal dari gerakan Padri yang bertujuan memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau, yang kemudian menimbulkan konflik dengan kaum adat setempat. Tuanku Imam Bonjol, bersama tokoh-tokoh seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Kota Tua, memimpin perlawanan terhadap kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam.
Konflik internal antara kaum Padri dan kaum Adat berubah menjadi perang melawan Belanda ketika kaum Adat meminta bantuan dari kolonial Belanda untuk menghadapi kaum Padri. Perang Padri terbagi menjadi tiga tahap, dimulai dengan perang saudara yang murni tanpa campur tangan asing, hingga akhirnya melibatkan Belanda yang berusaha menguasai wilayah tersebut.
Perang Padri berakhir pada tahun 1837 setelah berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Konflik ini mencapai puncaknya ketika Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal sebagai Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan kaum Adat. Namun, dengan siasat licik dan kekuatan militer yang superior, Belanda berhasil mengakhiri perlawanan rakyat Minangkabau.
Tuanku Imam Bonjol, pemimpin perlawanan, ditangkap setelah pengepungan Benteng Bonjol. Ia ditipu dan ditangkap oleh Belanda, yang kemudian membuangnya ke Sulawesi Utara, di mana ia meninggal pada tahun 1864. Penangkapan Tuanku Imam Bonjol menandai akhir dari Perang Padri dan memperkuat kontrol kolonial Belanda di wilayah tersebut. Perang ini memiliki dampak signifikan dalam sejarah Indonesia, sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan dan upaya mempertahankan identitas budaya dan agama.
Perlawanan Rakyat Sumatra Utara
|
Sisingamangaraja XII |
Sisingamangaraja XII, yang bernama asli Patuan Besar Ompu Pulo Batu, adalah raja serta pendeta terakhir masyarakat Batak di Sumatra Utara. Ia memimpin perlawanan melawan penjajahan Belanda di Sumatera utara sejak tahun 1878 hingga kematiannya pada tahun 1907.
Perlawanan ini bermula ketika Belanda mulai memperluas pengaruhnya di Sumatra Utara pada tahun 1850-an. Sisingamangaraja XII, yang saat itu tidak dilihat sebagai tokoh politik, mulai fokus melakukan perlawanan bersama ayahnya, Sisingamangaraja XI.
Pada Februari 1878, Sisingamangaraja XII mengadakan upacara keagamaan untuk menggalang dukungan orang Batak dalam perang perlawanan melawan Belanda. Ia mengadopsi strategi gerilya dan melancarkan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung, Uluan, Balige, dan Tangga Batu.
Perlawanan berakhir pada tahun 1907 ketika Sisingamangaraja XII terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Belanda. Meskipun perlawanannya tidak berhasil mengusir Belanda, ia dianggap sebagai pahlawan karena tekadnya yang kuat untuk mempertahankan tanah leluhurnya dari penjajahan.
Atas jasa dan perjuangannya, Sisingamangaraja XII dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 19621.
Perlawanan Rakyat Aceh
|
Cut Nyak Dien |
Perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajahan Belanda, yang berlangsung selama 31 tahun dan dikenal sebagai Perang Aceh, dipimpin oleh beberapa tokoh, termasuk Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Para pejuang Aceh menggunakan taktik perang gerilya dalam melawan penjajah Belanda. Taktik ini dilakukan dengan cara masuk ke hutan-hutan agar tidak mudah ditangkap oleh penjajah.
Belanda kemudian mendatangkan Christian Snouck Hurgronje, seorang profesor studi Islam dari Universitas Leiden, memainkan peran penting dalam Perang Aceh. Belanda mengundangnya untuk mengadakan studi menyeluruh tentang kehidupan rakyat Aceh. Snouck berhasil menemukan kunci kesuksesan Aceh yaitu ulama dan pemimpin adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat Aceh. Belanda kemudian membentuk pasukan antigerilya bernama Marsose. Rakyat Aceh pun dapat dikalahkan dan tunduk kepada Belanda.
Posting Komentar untuk "PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA MELAWAN PENJAJAH"